This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Selasa, 26 Juni 2012

Kedaulatan Rakyat Dalam Memilih Anggota DPR dan DPD


A.      LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang besar terdiri dari 398 kabupaten, 93 (sembilan puluh tiga) kota, 1 (satu) kabupaten administrasi, dan 5 (lima) kota administrasi di Indonesia. Daerah Kabupaten administrasi dan kota administrasi bukanlah daerah otonom, tetapi merupakan kabupaten/ kota tanpa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).[1] Dengan jumlah yang besar inilah negara Indonesia merupakan negara hukum yang dibingkai dalam Negara Kesatuan yang berbentuk Republik[2]  dengan Pancasila sebagai dasar hukum tertinggi.
Pengertian Negara menurut John Locke (Status Naturalis), adalah : Ketika manusia lahir, semua manusia itu bebas dan telah memiliki hak-hak, tetapi mereka menyadari bahwa hak dari manusia yg satu dpt menganggu hak dari manusia yang lain, sehingga mereka membentuk negara untuk  melindungi hak-hak masing-masing individu tersebut. Jadi tugas negara yang utama adalah untuk melindungi hak-hak asasi dari warganya.[3]
Pengertian dari Negara itu sendiri menurut Miriam Budiarjo negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang-undangan melalui penguasaan (control) monopolistis dari kekuasaan yang sah.[4] Aristoteles pada tahun 384 sm dalam “ politica” mengungkapkan bahwa negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. pemerintahan berkonstitusi, yakni :

  1. pemerintahan untuk kepentingan umum.
  2. pemerintahan berdasar hukum umum & tidak sewenang-wenang.
  3. pemerintahan berdasar kehendak rakyat bukan berupa paksaan.[5]
Masih melalui pendapat John Locke, bahwa negara mempunyai tujuan yaitu :
  1. Tujuan negara menjamin hak asasi warga negara.
  2. Penyelenggaraan negara berdasar hukum.
  3. Pemisahan kekuasaan negara untuk kepentingan umum.
  4. Supremasi legislatif untuk kepentingan rakyat.

Disamping itu negara kita adalah negara demokrasi , istilah demokrasi yang menunjuk kepada pengertian sistem politik yang di idealkan masyarakat, Demokrasi (demos+cratos) atau (demos kratien) yaitu pemerintahan oleh semua orang bukan dari konsep pemerintahan oleh satu orang (autocracy). Oleh karena itu yang diidealkan adalah Plutocracy (Pluto+cracy), yaitu pemerintahan dikendalikan banyak orang tetapi tidak berarti semua orang ikut memerintah.[6] Dengan demikian konsep demokrasi pemerintahan suatu negara merupakan pemerintahan oleh rakyat.[7]
Konsep demokrasi itu sendiri dari tradisi Yunani dan Roma kuno yaitu: pertama, pemerintahan demokratis hanya terwujud dalam kerangka negara yang luasnya tidak terlalu besar; dan kedua, bahwa demokrasi bersifat cukup langsung di mana majelis rakyat dan badan-badan perwakilan lain terus menerus berhubungan langsung dengan rakyat yang telah menetapkan mereka.
Untuk menjalankan Pemerintahan yang demokratis dan berkedaulatan rakyat, jika dilihat dari pengertian-pengertian sebagaimana tersebut diatas yaitu pengertian Negara dan pengertian Demokrasi jika dihubungkan dengan konsideran menimbang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, dalam rangka untuk memilih angggota DPR, DPD dan DPRD mengatakan bahwa:  “Pemilihan Umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”[8]  dan dalam konteks pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 BAB VII Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19 ayat (1) berbunyi : “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum”. dan adanya pemilihan wakil-wakil daerah yang akan duduk pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) yang tercantum dalam BAB VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah Pasal 22C ayat (1) berbunyi : “Anggota Dewan Perwakilan Daerah  dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilihan Umum”.[9] dan dalam BAB VIIB tentang Pemilihan Umum Pasal 22E ayat (1) sampai ayat (6). Hal  ini menunjukkan bahwa Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.[10] Dengan demikian pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam Negara Indonesia adalah rakyat.

B.       RUMUSAN MASALAH

Dari uraian yang disampaikan diatas, hal ini yang menjadi permasalahannya adalah:
1.   Bagaimana Proses Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat Dalam Undang-Undang Pemilu dalam memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah?
2.         Bagaimana Perwakilan Rakyat dan Aspirasi Rakyat Dalam Proses Keanggotaan DPR Dan DPD?

      Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat (Cakupan Singkat).

Pengertian sempit dari demokrasi dirumuskan oleh Joseph schumpeter yang mengatakan bahwa : demokrasi secara sederhana merupakan metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pimpinan politik. Warga negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu pemimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara diantara pemilihan dan keputusan yang dibuat oleh politisi dan dalam pemilihan umum berikutnya Warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilihsebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut demokrasi.[11]
Joseph schumpeter juga mengatakan bahwa metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara. Pengertian demokrasi yang komprehensif yang diusulkan oleh David Held yang menggabungkan pemahaman pandanagan liberal dan dan tradisi marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomiyang sama dan karena itu mempunyai kewajiban yang sama dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir untuk meniadakan hak-hak orang lain.[12]
Cara pandang mengenai demokrasi ini membantu kita dalam memahami bahwa demokrasi merupakan sebuah entitas yang dinamis yang memberikan definisi yang berbeda-beda. Dalam hal lainnya pandangan demokrasi senyatanya tidaklah dapat membantu negara dalam menentukan demokrasinya. Untuk itu konsep demokrasi yang tepat untuk mengenal secara jelas esensi demokrasi, mengenali wajah pokok demokrasi sebagai bentuk pemerintahan oleh rakyat bukan hanya sebuah sistem politik tetapi juga sistem sosial ekonomi.
Sebelum paham atau ajaran demokrasi muncul, kehidupan bangsa, masyarakat dan negara di Eropa dilandasi oleh paham agama, atau dinamakan juga dengan “Teokrasi”, yang artinya pemerintahan/ negara berdasarkan Hukum/ Kedaulatan Tuhan. Penyelewengan paham Teokrasi yang dilakukan oleh pihak Raja dan otoritas Agama, mengakibatkan kehidupan negara-negara di Eropa mengalami kemunduran yang sangat drastis, bahkan hampir-hampir memporak-poranda seluruh sendi-sendi kehidupan masyarakat dan negara disana.
Ditengah situasi kegelapan yang melanda Eropa inilah JJ.Rousseau berpendapat bahwa landasan kehidupan bangsa/masyarakat tidak dapat lagi disandarkan pada kedaulatan Tuhan yang dijalankan oleh Raja dan Otoritas Agama, karena sesungguhnya kedaulatan tertinggi di dalam suatu negara/masyarakat berada ditangan rakyatnya dan bukan bersumber dari Tuhan. Bahkan negara/ masyarakat berdiri karena semata-mata berdasarkan Kontrak yang dibuat oleh rakyatnya (Teori Kontrak Sosial) yang berisikan :
1.    Negara adalah hasil perjanjian dari yang diperintah dan yg memerintah, sehingga tidak semua hak yg ada pada individu diserahkan kepada pemerintah.
2.    Hanya hak-hak tertentu saja yg diberikan kepada pemerintah agar   pemerintah bisa melindungi ataupun             membatasi pelaksanaan hak dari setiap         individu agar tidak melanggar ataupun mengganggu hak individu yg lain.

Ajaran/ teori Kedaulatan Rakyat atau “demokrasi” ini  mengatakan bahwa kehendak tertinggi pada suatu negara berada ditangan rakyat, dan karenanya rakyat yang menentukan segala sesuatu berkenaan dengan negara serta kelembagaannya. Atau dapat juga dikatakan sebagai ajaran tentang Pemerintahan Negara berada ditangan Rakyat. Ajaran Demokrasi adalah sepenuhnya merupakan hasil olah pikir JJ. Rousseau yang bersifat hipotetis, yang sampai saat itu belum pernah ada pembuktian empiriknya. Bahkan pada “Polis” atau City State” di Yunani yang digunakan oleh Rousseau sebagai contoh didalam membangun Ajaran Demokrasi yang bersifat mutlak dan langsung, tidak dapat ditemui adanya unsur-unsur demokrasi.
Oleh karenanya Logemann mengatakan bahwa Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau sebagai “Mitos Abad XIX”, karena tidak memiliki pijakan pada kenyataan kehidupan umat manusia.  hal bertentangan dengan kenyataan dimana rakyat secara langsung dan mutlak (keseluruhan) memegang kendali pemerintahan negara. Karena justru kenyataannya menunjukan bahwa segelintir (sedikit) oranglah yang memegang kendali pemerintahan negara dan memerintah kumpulan orang yang banyak, yaitu rakyat.
Kedaulatan di Indonesia itu sendiri terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Adapun Kedaulatan mempunyai sifat :
  1. Mutlak (tidak ada yang dapat mengalahkannya),
  2. Abadi (tidak dibatasi oleh waktu),
  3. Utuh, tunggal, dan tidak terbagi-bagi (hanya ada satu kedaulatan tertinggi dalam satu negara),
  4. Bersifat tertinggi/ asli (tidak berasal dari kekuasaan mana pun).
        Proses Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat Dalam Undang-Undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah

Kemerdekaan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah merupakan awal tujuan untuk mewujudkan bagian dari pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alenia IV yang berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial” dan selanjutnya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 digunakan sebagai pedoman dasar penyelenggaraan Negara hukum yang menggunakan sistem demokrasi sesuai dengan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi : “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. [13] Ciri negara hukum yang modern menurut Jimly Asshiddiqie adalah sebagai berikut :
             1.          Supremasi hukum (Supremacy of Law),
             2.          Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law),
             3.          Asas Legalitas (Due Process of Law),
             4.          Pembatasan Kekuasaan (Limited Government),
             5.          Organ-organ Eksekutif Independen (State Auxiliary Institutions),
             6.          Peradilan Bebas dan Tidak Memihak (independent and impartial judiciary),

Adanya korelasi antara Negara hukum yang bertumpu pada konstitusi dengan Kedaulatan Rakyat yang dijalankan melalui demokrasi.[14] Korelasi ini muncul dari istilah demokrasi konstitusional yang mengatakan dalam sistem demokrasi partisipasi rakyat merupakan esensi dari sistem. Demokrasi tanpa adanya pengaturan hukum akan kehilangan bentuk dan arah, begitu juga Hukum tanpa adanya demokrasi akan kehilangan makna.[15]
Demokrasi itu sendiri diwujudkan dalam derajat yang berbeda-beda dan melalui saluran konstitusi yang juga berbeda pula. Demokrasi langsung adanya fakta bahwa Pembuatan Undang-undang, Fungsi eksekutif dan Legislatif adalah yang utama, dan demokrasi tidak langsung adalah fungsi Parlemen yang dipilih oleh rakyat, dan fungsi eksekutif dan legislatif dipilih melalui Pemilihan Umum.[16]
Dalam konteks politik, dikenal adanya macam demokrasi yakni pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik/ procedural democracy. Dalam pemahaman secara normatif demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah Negara. Makna demokrasi empirik adalah demokrasi dalam perwujudan kehidupan politik praktis.[17] Perlu diketahui pula apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari dalam suatu Negara.
Pemahaman demokrasi dalam suatu sistem politik adalah  pemerintah memberikan ruang gerak yang cukup bagi warga masyarakatnya untuk melakukan partisipasi guna memformulasikan preferensi Politik melalui organisasi politik yang ada. Hal ini dapat menjadi pedoman guna menghindari pengisian jabatan-jabatan politik secara terus menerus tanpa adanya batasan. Penyelenggaraan Negara yang demokratis sebenarnya ada pada pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia alenia ke IV yang berbunyi : “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ Perwakilan” dan dalam Batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menitik beratkan kepada pemberdayaan rakyat dalam penyelenggaraan demokrasi bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang meletakkan asas kedaulatan rakyat ditangan rakyat dan adanya sistem Check and Balances. DPD diadopsi sebagai kamar kedua guna mengimbangi peran DPR dalam membuat kebijakan di tingkat Nasional. Secara umum fungsi dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah sama-sama lembaga perwakilan yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang dipilih melalui Pemilihan Umum.
DPD sebagai lembaga penyeimbang DPR diparlemen dirasa tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, karena dalam Pasal 22D UUD 1945 wewenang DPD tidak sebanding DPR yaitu : “ikut membahas RUU” dan “dapat” melakukan pengawasan atas pelaksanaan Undang-Undang yang hanya terbatas pada Undang-Undang Otonomi Daerah. Sebagai representasi Daerah, DPD sangat diharapkan untuk andil dan perannya untuk menyuarakan aspirasi kepentingan masyarakat daerah ditingkat nasional. DPD hanya sebatas menjadi penonton disaat DPR mengambil sebuah keputusan Politik yang senyatanya menyangkut aspirasi daerah yang dibawanya melalui legitimasi yang kuat dalam konstitusi karena keberadaan DPD dipilih secara langsung oleh Rakyat. Keberadaan DPD dalam sistem Ketatanegaran Indonesia merupakan salah satu upaya perwujudan bikameral dan mengurangi penyalahgunaan kekuasaan. Dengan demikian DPD lahir untuk mengimbangi DPR sebagai perwakilan politik agar kekuasaan legislatif tidak terkonsentrasikan pada satu lembaga.[18] Ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia mengatur DPD dalam struktur Ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk :
             1.          Memperkuat ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara kesatuan Republik Indonesia dan memperteguh persatuan kebangsaan seluruh daerah.
             2.          Meningkatkan agresi dan akomodasi aspirasi kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional berkaitan dengan Negara dan daerah-daerah.
             3.          Mendorong percepatan demokrasi, pembangunan dan kemajuan daerah secara serasi dan seimbang.[19]

Melihat minimnya peran dan kewenangan DPD dalam keterlibatannya mengambil keputusan kebijakan khususnya legislasi dan pengawasan dapat dikatakan bahwa kewenangan dan Fungsi DPD lebih merupakan “moral-etis” dan bukan hak politik yang maknanya hak dan kewenangan DPD tidak punya konsekuensi politik yang berarti. DPD tidak dapat memberi sanksi kecuali moral.[20]
    
      Perwakilan Rakyat dan Aspirasi Rakyat Dalam Kriteria dalam Proses Keanggotaan DPR Dan DPD

Langkah penyempurnaan terhadap Ajaran Demokrasi JJ.Rousseau yang terpenting dan merupakan awal menuju kearah demokrasi modern yaitu Demokrasi Perwakilan yang dikenal sampai kini, adalah dengan dibentuknya Dewan Perwakilan Rakyat di Inggris pada pertengahan Abad XIII (1265). Pada Demokrasi Perwakilan, Rakyat secara keseluruhan tidak ikut serta menentukan jalannya pemerintahan negara, tetapi rakyat mewakilkan kepada wakil-wakilnya yang duduk di Badan Perwakilan Rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan negara. Untuk menentukan siapakah individu-individu rakyat yang akan mewakili keseluruhan jumlah rakyat di Badan Perwakilan Rakyat ini digunakan mekanisme Pemilihan (Umum) yang bercirikan :
1.         Adanya 2 (dua) atau lebih calon yang harus dipilih ;
2.         Siapa yang mendapatkan suara terbanyak dari calon-calon yang ada, maka dialah yang akan duduk di Badan Perwakilan Rakyat guna mewakili mayoritas rakyat pemilih.

Secara substansial Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengandung kelemahan dalam menjelaskan dan mengatur pelaksanaan kedaulatan rakyat. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memang mencantumkan adanya kekuasaan tertinggi ditangan rakyat yang akan dilaknakan oleh Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat 2) namun terdapat ketidakjelasan mengenai: Kriteria serta proses keanggotaan untuk anggota DPR dan DPD dan Mewakili siapa atau mewakili aspirasi apa sesungguhnya anggota DPR dan DPD;
Anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui Pemilihan Umum. Artinya tidak ada lagi anggota perwakilan rakyat yang tidak berasal dari proses pemilihan umum seperti selama ini terjadi. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan peran rakyat yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 hasil amandemen dalam memilih wakil-wakilnya untuk duduk di lembaga perwakilan. Timbulnya variasi model demokrasi perwakilan ini menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara bersumber dari perbedaan nilai-nilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat pada masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara (terutama antara Lembaga Legislatif dan Lembaga Eksekutif), yang ditetapkan oleh masing-masing negara yang bersangkutan. Namun  semua variasi model demokrasi perwakilan harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu :
1.    Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi (kedaulatan)  berada ditangan rakyat ;
2.    Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkut harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lembaga perwakilan rakyat ;
3.    Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warganegara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum .
4.    Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.

Sistem demokrasi di Indonesia menunjukkan adanya rekruitmen yang terbuka dalam arti Kelembagaan dan dan Terbuka dalam arti personal. Terbuka dalam arti kelembagaan seperti yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 7 yang menyebutkan : “Peserta Pemlihan Umum untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota adalah Partai Politik” dan pada Pasal 8 ayat (1) berbunyi : “Partai Politik Dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan :[21]
  1. Berstatus badan hukum, sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik.
  2. Memiliki kepengurusan di 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi.
  3. Memilik kepengurusan di 2/3(dua pertiga) Kabupaten/ Kota di Provinsi yang bersangkutan.
  4. Menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.
  5. Memiliki keanggotaan sekurang-kurangnya 1000 (seribu) orang atai 1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf b dan huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota.
  6. Mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan sebagaimana pada huruf b dan huruf c; dan
  7. Mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

Terbuka dalam arti personal ditemukan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Pasal 22E ayat (4) berbunyi : “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan” disebutkan pula dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Pasal 11 ayat (1) berbunyi :”Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan” dan ayat (2) berbunyi : “perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan”[22]
Keanggotaan anggota DPR dan DPD diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah, BAB III DPR, Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan, Pasal 67 berbunyi : “DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum”. Bagian Keempat Keanggotaan Pasal 74 ayat (1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.Dan anggota DPD dalam BAB IV DPD, Bagian Kesatu Susunan dan Kedudukan, Pasal 221 berbunyi : “DPD terdiri atas wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum”. dan pada Bagian Keempat Keanggotaan, Pasal 227 ayat (1) Anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan sebanyak 4 (empat)  orang. Ayat (2) Jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR.[23]
Untuk anggota DPR yang terdiri atas partai politik dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik Pasal 29 ayat (1) yang  berbunyi : “Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi:” [24]
a.    anggota Partai Politik;
b.    bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
c.     bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
d.    bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.

Berkaitan dengan hak-hak dasar yang dimaksud diatas diatur dalam BAB VII Keanggotaan dan Kedaulatan anggota, Pasal 14 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik. [25] yang berbunyi : “Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.  Dan pada ayat (2) berbunyi : “Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART”.
Sehubungan apa yang telah dikemukakan diatas bahwasanya proses Demokrasi dan kedaulatan Rakyat dalam proses Pemilihan Umum Anggota DPR dan DPD adalah cerminan Warga Negara adalah pendukung dan unsur yang mutlak bagi adanya negara yang berdaulat. Pemilihan Umum atau biasa disebut Pemilu adalah proses rakyat memilih wakil-wakilnya untuk mengisi jabatan sebagai Wakil Rakyat di DPR dan DPD. Hak yang diberikan oleh rakyat apabila dijalankan melalui mekanisme dan dengan jalur yang benar Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat dapat menjadi kenyataan.
Kondisi situsional saat ini menggambarkan bahwa proses Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat tidaklah membawa amanah yang aspirasi dan mewakili kepentingan rakyat pada umumnya. Hal ini disebabkan oleh wakil-wakil rakyat baik DPR ataupun DPD dirasa tidak membawa makna dari kedaulatan rakyat. DPR dan DPD yang telah duduk tidak membawa aspirasi kepentingan rakyat pada umumnya akan tetapi mewakili kepentingan partai atau golongan tertentu.
Rakyat dengan kedaulatannya yang telah memilih wakilnya untuk duduk sebagai wakil rakyat menjadi tidak ada artinya disaat kepentingan rakyat yang telah diamanahkan itu tidak disuarakan. Sejalan dengan itu rakyat tidak mempunyai kekuatan secara normatif untuk menarik kembali Kedaulatan yang telah diberikan kepada wakil-wakilnya, karena kewenangan itu hanya dapat dilakukan oleh Partai Politik. Sementara Partai Politik yang mewadahi anggota DPR tersebut tunduk dan patuh kepada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ ART) Partai sesuai dengan bunyi pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2008 tentang Partai Politik yang berbunyi : “Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik”. Meskipun dalam Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPR dan DPD Pasal 211 yang berbunyi : “Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPR dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPR yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208.”
Yang dimaksud kewajiban dari anggota DPR tercantum dalam pasal 79 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD yang berbunyi : Anggota DPR mempunyai kewajiban:
a.         Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b.         Melaksanakan  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c.         Mempertahankan  dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.         Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e.         Memperjuangkan  peningkatan kesejahteraan rakyat;
f.           Menaati  prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
g.    Menaati tata tertib dan kode etik; 
h.    Menjaga  etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
a.      Menyerap  dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;   
j.     Menampung  dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k.     Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Dan Larangan anggota DPR terdapat pada Bagian Keempat Belas Larangan dan Sanksi Larangan Pasal 208 yang berbunyi ;
(1)      Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b.    hakim pada badan peradilan; atau
c.    pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2)      Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPR serta hak sebagai anggota DPR.
(3)      Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.

Sejalan dengan itu pada anggota DPD pun rakyat dapat memberikan pengawasannya dan mempunyai hak dalam mengawasi wakilnya seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD Pasal 280 yang berbunyi :[26] “Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPD dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPD yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277”
Kewajiban dari anggota DPD tercantum dalam pasal 233 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD yang berbunyi : Anggota DPD mempunyai kewajiban:
a.         Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b.         Melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c.         Mempertahankan  dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d.         Mendahulukan  kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok,  golongan, dan daerah;
e.         Menaati  prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
f.     Menaati  tata tertib dan kode etik;
g.         Menjaga  etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
h.   Menampung  dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
i.     Memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada masyarakat di daerah yang diwakilinya.
Dan Larangan anggota DPD Bagian Kedua Belas Larangan dan Sanksi, Paragraf 1, tentang Larangan Pasal 277 yang berbunyi :
(1)      Anggota DPD dilarang merangkap jabatan sebagai:
a.        pejabat negara lainnya;
b.        hakim pada badan peradilan; atau
c.         pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2)      (Anggota DPD dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan tugas dan wewenang DPD serta hak sebagai anggota DPD.
(3)      Anggota DPD dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dilarang menerima gratifikasi.

Aspirasi  yang harus dibawa oleh anggota DPR dan DPD terdapat Dalam bagian dari Pasal-Pasal tentang Kewajiban dan Larangan tersebut diatas dapat menunjukkan bahwa demokrasi dan kedaulatan rakyat hanya terbatas memberikan haknya untuk memilih dan menentukan wakilnya, sementara untuk aspirasi yang diharapkan untuk dibawa oleh wakilnya tersebut tidak ada jaminan untuk disuarakan oleh wakilnya tersebut karena jika rakyatnya yang akan mengajukan keberatan atau melaporkan adanya Kewajiban dan Larangan yang dilanggar dan tidak dijalankan oleh anggota DPR dan DPD  sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal tersebut diatas, Rakyat akan melalui proses dan mekanisme yang panjang pada alat kelengkapan yang bekerja di DPR dan DPD juga patuh pada Peraturan Tata Tertib yang dibuat oleh masing-masing lembaga tersebut sehingga Rakyat enggan dan umumnya tidak melakukan keberatan atau menuntut kembali kedaulatan perwakilan yang diberikan kepada wakil-wakilnya di DPR dan DPD.
Namun dalam sistem kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada ditangan rakyat. Karena kekuasaan itu hakikatnya berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat bahkan dalam “participatory democrazy” dikembangkan pula tambahan bersama rakyat sehingga menjadi “kekuasaan pemerintahan itu berasal dari rakyat, untuk rakyat oleh rakyat dan bersama rakyat” inilah yang disebut dengan kontrak sosial antara masyarakat yang tercermin dalam konstitusi. Dalam kedaulatan rakyat tetap harus dijamin bahwa rakyatlah yang sesungguhnya pemilik negara dengan segala kewenangannya untuk menjalankan semua fungsi kekuasaan negara yang didalamnya termasuk perwakilan di DPR dan DPD yang merupakan “sistem reprensentatif democracy”[27]
Lebih lanjut dalam Prinsip dan Ciri Model Developmental Democracy Prinsip utama Partisipasi dalam kehidupan politik adalah sebuah keharusan, tidak hanya demi perlindungan kepentingan individu, tetapi juga demi terbentuknya masyarakat WN yang sadar, commited, dan berkembang. Keterlibatan politik adalah sesuatu yang essensial bagi pengembangan kapasitas individu yang tertinggi dan Kedaulatan tertinggi dipegang oleh Warga Negara, tetapi dijalankan oleh perwakilan yang mendapatkan legitimasi untuk menjalankan fungsi-fungsi Negara.
Sehubungan dengan pokok permasalahan yang dikemukan diatas yaitu pertama : Proses Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat Dalam Undang-Undang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dan kedua Perwakilan Rakyat dan Aspirasi Rakyat Dalam Kriteria dan Proses Keanggotaan DPR Dan DPD, menjawab bahwa : sesungguhnya permasalahan diatas telah diatur dalam peraturan perundang-undangan yang ada namun pengaturan ini hanya menjamin mekanisme representatif democracy, akan tetapi penyaluran  perwakilan dan aspirasi untuk mewakili siapa dan aspirasi siapa yang dibawanya tidak berjalan semestinya dikarenakan aspirasi dan perwakilan yang diemban oleh DPR dan DPD dapat dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang atau partai semata. Sudut pandang ini adalah syah secara konstitusi belum tentu syah secara demokratis keinginan rakyat.






A.      K E S I M P U L A N

Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis pada dasarnya sudah mengekspresikan dan mengaplikasikan demokrasi dalam penyelenggaraan negara yang tercermin dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang memberikan hak kepada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya melalui DPR dan DPD karena DPR dan DPD merupakan lembaga yang paling mengerti akan kondisi dan apa yang menjadi kebutuhan dari konstituen pemilihnya di daerahnya masing-masing, sehingga aspirasi yang seharusnya disampaikan dan diperjuangkan tidak seharusnya tercederai oleh kepentingan-kepentingan kekuasaan dan pengaruh diluar keinginan dari demokrasi dan kedaulatan rakyat yang telah diamanatkan dari rakyat melalui dasar perundang-undangan yang berlaku.

B.       S A R A N

Dalam meningkatkan fungsi peran dari Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah dalam usaha untuk lebih mengaktualisasikan perwakilan dari rakyat dan apirasi dari Rakyat yang dibawanya maka seharusnya dapat dibentuk Peraturan Perundang-undangan yang lebih mudah dan konkrit tentang mekanisme tentang bagaimana Rakyat mengontrol dan menarik kedaulatan yang diberikan kepada wakil-wakilnya tersebut tidak hanya terbatas pada alat perlengkapan dan Tata Tertib bahkan mekanisme Anggaran Dasar/ Anggaran rumah Tangga (AD/ ART) Partai Pengusung dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah semata. sehingga demokrasi dan kedaulatan rakyat dapat bernilai tidak hanya sebatas konstitusi tetapi juga juga syah secara moral dan demokratis keinginan Rakyat.


DAFTAR PUSTAKA

1.        Asshidiqie, jimly, 2005: Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press.
2.        Asshidiqie, jimly, 2011: Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
3.        Budiarjo, Miriam, 2010. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: edisi revisi PT. Gramedia Pustaka Utama.
4.   Gaffar, Afan, 2000. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi, Cetakan Kedua, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
5.        Huda, Ni’matul, 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rajawali pers.
6.  Kelssen, Hans, 1995. Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-deskriptif) alih Bahasa Somardi, Penerbit Rimdi Press
7.      Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, edisi revisi, Jakarta: Rajawali Pers.
8.      Manan, Bagir, 2004. Teori dan Politik Konstitusi, Cetakan kedua, Yogyakarta: FH UII Press.
9.  Manan, Bagir, dan Magnar, Kuntana, 1997. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Penerbit Alumni.
10.    Ridwan, 2002. Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.
11. Sorensen, Georg, Penyunting dan Pengantar Tadjuddin Noer Effendi 2003. Demokrasi dan Demokratisasi (Proses dan Prospek Dalam Sebuah Dunia yang sedang Berubah, Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
12.  Thaib, Dahlan, 2009. Ketatanegaraan Indonesia, Presepektif Konstitusional, Yogyakarta: Total Media.
13.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
14.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011.
15.    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu.
16.   Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.
17.    Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.
18.    Syukriy Abdullah, Problematika Fungsi Legislasi DPD, terdapat dalam http:/ sykriy. Wordpress.com/ 2011/ 12/ 12


[1] Internet dari wikipedia indonesia
[2] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 BAB I Pasal 1 Ayat (1)
[3] Disampaikan pada Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi pada program Magister Hukum Jurusan kenegaraan Universitas Gajah Mada Yogyakarta angkatan XVII, tanggal 09 Desember 2011
[4] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 2010
[5] Ibid bahan Kuliah Negara Hukum dan Demokrasi
[6] Asshidiqie, jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta 2011. Hal 116
[7]Ibid Miriam Budiharjo
[8] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  4836
[9] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
[10] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 BAB I Pasal 1 ayat (2)
[11] Georg sorensen. Demokrasi dan Demokratisasi (Proses dan Prospek dalam sebuah dunia yang sedang berubah), Penyunting dan Pengantar : Tadjudin Noer Effendi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2003. Hal 13-24.
[12] Lihat Held, Models Of democracy, hal 271
[13] Ibid Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945
[14] Ridwan HR, Hukum Administrasi, UII Press, Yogyakarta,  hal 7
[15]  Ibid Ridwan HR
[16] Hans Kelssen, Teori Hukum Murni (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif sebagai Ilmu Hukum Empirik-deskriptif) alih Bahasa Somardi, Rimdi Press, 1995, hlm 228
[17]  Afan Gafar, Politik IndonesiaTransisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000
[18]  Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia, Total Media Yogyakarta 2009 hal 140
[19]  Ni’matul huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers 2005 hal 106
[20] Priyatmoko, Hubungan Kerja dan Mekanisme Kerja DPD dengan DPR dan Lembaga-Lembaga Negara lain” dalam jenedri M. Gaffer dkk (editor), hal 136
[21] Ibid Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008.
[22] Ibid Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008
[23] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043.
[24] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5189.
[25]  Ibid Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2011.
[26] Ibid Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009.
[27] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Konstitusi Press Jakarta 2005 hal 140-143