A.
LATAR BELAKANG
Melihat geograpis Negara Indonesia mayoritas terdiri
dari lautan dan tidak sedikit penduduk indonesia tinggal di wilayah pesisir
yang kemampuan ekonominya cukup memperhatikan, hal ini dimulakan salah satu
faktor penyebabnya peralatan penangkapan ikan yang dimiliki masih sangat
sederhana dan sistematika peraturan yang belum dapat menyentuh penduduk
pesisir, dapat dipastikan bahwa keefektifan hukum terhadap pengaturan sumber
daya alam dan mekanisme kerjanya dipandang tidak memadai.[1]
Bersamaan dengan itu Jimly Asshidiqie mengatakan
bahwa Produk Hukum antara Tahun 1967 – 1983 hanya 11,6 % yang merujuk Pasal 33
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sehingga 88,4 % usaha kita
diarahkan pada upaya liberalisasi sesuai tuntutan keadaan.[2]
Dilihat dari sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia mempunyai konsep
sebagai negara Kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia,
Secara konseptual sistem pemerintahan dapat
dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : sistem pemerintahan parlementer (the parlementiary cabinet goverment),
sistem pemerintahan presidensial (the
presidential goverment) dan sistem pemerintahan yang mengandung sistem
parlemen dan sistem Presidensial (semi
presidential goverment).
Prinsip dari negara kita yang memegang prinsip
negara hukum harus dapat mengikuti perkembangan masyarakat dan negara, selain
itu prinsip negara hukum juga terkait dengan gagasan yang didasarkan pada
manivestasi kedaulatan rakyat yang menjelma dalam lembaga perwakilan untuk dapat
menyusun peraturan yang mendukung tercapainya tujuan dari negara.
Dilihat dari tujuan negara Indonesia dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 alinea ke empat, yaitu
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.[3]
Negara dianggap perlu dan harus melakukan intervensi
dalam menanggapi berbagai masalah baik dalam sudut pandang sosial dan ekonomi
untuk terciptanya kesejahteraan didalam masyarakat yang pada akhirnya berujung
pada terciptanya kebahagian bagi rakyatnya (bonum
publicum, common good, common wealht). Berbeda dengan konsep sosialis yang
mendudukkan pemerintah pada posisi yang dominan sehingga keterlibatan individu
terabaikan.
Untuk dapat melaksanakan tujuan negara sebagaimana
dimaksud diatas, maka dalam mengimplementasikan tujuan negara haruslah
mempunyai aturan main yang jelas berbentuk tertulis, yang lazim disebut dengan Peraturan Perundang-undangan. Dalam
menjawab tantangan pembentukan Hukum di indonesia diperlukan adanya suatu
peranan Politik Hukum dalam pembentukannya.
B.
RUMUSAN MASALAH
Maka penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut :
- Bagaimana hubungan politik hukum dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia?
- Bagaimana perananan politik hukum dalam mewujudkan tujuan negara Indonesia?
Untuk dapat
memahami tujuan negara dalam konteks politik hukum, harus dapat mengerti bahwa
politik hukum merupakan pilihan-pilihan tentang hukum sebagai kebijakan dasar
yang menentukan arah, bentuk, maupun isi yang akan dibentuk, hukum itu akan
dicabut atau tidak diberlakukan lagi. Definisi politik hukum itu sendiri
menurut Padmo Wahjono adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang didalamnya mencakup
pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.[4]
Satjipto
Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktifitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu didalam
masyarakat yang terdiri dari :[5]
1.
Tujuan yang akan dicapai;
2.
Cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan;
3.
Waktu dan cara hukum dapat diubah;
4.
Pola dalam memutuskan proses pemilihan tujuan dengan
baik;
Dasar
pemikiran dari berbagai definisi didasarkan pada kenyataan bahwa negara
mempunyai tujuan yang harus dicapai dan upaya untuk mencapai tujuan dilakukan
dengan menggunakan hukum sebagai alat untuk pemberlakuan dan atau
penidakberlakuan hukum. Pemahaman politik hukum mencakup sebagai kebijakan
resmi negara (legal policy) tentang
hukum yang akan diberlakukan atau tidak berlakukan dan digunakan untuk mencari
kebenaran dan memberi arti hukum. Semua peraturan yang bertujuan untuk
kesejahteraan merupakan resultante
(produk kesepakatan politik) sesuai dengan situasi ekonomi dan sosial pada saat
dibuat.[6]
Politik
Hukum apabila dipandang dari teori hukum murni mempunyai makna bahwa hukum
merupakan disiplin ilmu yang membahas perbuatan aparat yang berwenang dalam
memilih alternatif yang sudah tersedia
untuk memproduksi produk hukum (karya hukum) guna mewujudkan tujuan negara dan
mempunyai beberapa unsur-unsur diantaranya :
1.
Dibuat oleh
aparat yang berwenang;
2.
Adanya
alternatife yang dapat dipilih;
3.
Adanya
produk yang dihasilkan;
4.
Adanya
tujuan negara yang akan diwujudkan.[7]
Politik
hukum itu sendiri berisi upaya pembaharuan hukum menjadi keharusan ketika
proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur dengan sistem hukum atau
ideologi yang harus mengarah pada upaya penyesuaian dengan struktur yang baru,
sebab hukum tidak statis karena hukum itu sendiri untuk melayani masyarakat.
Politik
hukum nasional tidak hanya dilihat dari prosepektif formal yang memandang
kebijaksanaan hukum dari rumusan-rumusan melainkan dilihat dari latar belakang
proses keluarnya rumusan-rumusan resmi tersebut. Fungsi instrumental hukum
sebagai sarana kekuasaan politik yang kuat daripada fungsi-fungsi lainnya .
Hukum
dianggap sebagai tujuan dari politik adalah agar ide-ide hukum atau rechtsidee seperti kebebasan, keadilan,
kepastian, dan sebagainya ditempatkan dalam hukum positif dan pelaksanaan
sebagian atau secara keseluruhan, dari ide hukum itu merupakan tujuan
dari proses politik dan hukum sekaligus merupakan alat dari politik.
Politik mempergunakan hukum positif (peraturan perundang-undangan) untuk
mencapai tujuannya dalam arti merealisasikan ide-ide hukum tersebut. Politik dapat mengarahkan dan membentuk
masyarakat kepada tujuan untuk memecahkan masalah kemasyarakatan di mana
politik adalah aspek dinamis dan hukum merupakan aspek yang statis.
Politik dan hukum
adalah dasar dari politik hukum dengan ketentuan bahwa pelaksanaan
pengembangan politik hukum tidak bisa dipisahkan dengan pelaksanaan
pengembangan politik secara keseluruhan. Atau dapat dikatakan, prinsip dasar
yang dipergunakan sebagai ketentuan pengembangan politik akan juga berlaku bagi
pelaksanaan politik hukum yang diwujudkan melalui peraturan
perundang-undangan.
B. Perananan Politik Hukum Dalam Mewujudkan Tujuan
Negara
Pada masa
setelah orde baru, produk hukum harus dilihat kembali seberapa banyak yang
bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, peranan peraturan
perundang-undangan yang telah dihasilkan oleh produk legislatif dan eksekutif
sebagai upaya mengentaskan atau mengurangi kemiskinan yang terjadi di negara
Indonesia.
Proses
pembentukan peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan tersebut melalui
proses yang panjang diantaranya peranan politik hukum yang diimplementasikan
dan dijabarkan kedalam peraturan-peraturan yang dapat diserap dan dinikmati
oleh lapisan masyarakat. Produk hukum merupakan sarana pengatur masyarakat dan
berperan didalam masyarakat karena hukum itu sendiri merupakan gagasan maupun
pendapat-pendapat yang hidup didalam ruh masyarakat dan perkembangan masyarakat
ikut menentukan tipe hukum yang seharusnya dapat diberlakukan.
Apabila
peraturan perundang-undangan yang telah dibuat tidak diiringi dengan
perkembangan masyarakat akibatnya nilai-nilai yang merupakan tujuan yang akan
dicapai dari masyarakat tidak terpenuhi dan berpangaruh pada penegakan hukum
itu sendiri.
Peraturan
perundang-undangan yang dibuat untuk berperan dalam tujuan negara, apabila
dikaitkan dengan susunan masyarakat dan nilai-nilai dimulai dengan
pilihan-pilihan mengenai nilai-nilai apa yang harus diwujudkan oleh hukum,
pilihan nilai-nilai sangat ditentukan oleh politik hukum yang berkuasa.
Dimensi
nilai-nilai bukan saja dijumpai saat peraturan perundang-undangan hendak
diterapkan, melainkan timbul sejak peraturan perundang-undangan hendak dibuat.
Faktor nilai yang menimbukan perbedaan
dalam kehidupan hukum lebih disebabkan oleh kultur hukum yang terdiri
dari sikap-sikap dan nilai-nilai keyakinan yang dimiliki dari masyarakat secara
langsung berhubungan lembaga-lembaga pembentuknya baik dipandang dari sudut
positif atau sudut pandang negatifnya.
Peranan
nilai-nilai dan sikap-sikap merupakan gejala yang universal sehingga mudah
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang telah dipilih oleh politik hukum
yang akan diwujudkan dalam masyarakat. Nilai-nilai yang sudah mapan dan telah
dihayati oleh anggota masyarakat harus dicermati keberadaannya untuk dipersiapkan
kedalam suatu produk hukum perundangan-undangan secara lebih baik.
Pembentukan
peraturan perundang-undangan dilihat dari peranan dan fungsinya merupakan suatu
kebutuhan bagi masyarakat dikarenakan hukum itu sendiri merupakan elemen-elemen
penting bagi perkembangan politik dan kebijaksanaan ekonomi, sosial dan budaya
dari pemerintah yang mendasari dan mengartikan tindakan-tindakan dari hukum.
Dalam
membicarakan penyusunan perundang-undangan maka perlu diketahui arti dari legal
drafting. [8]
proses penyusunan produk hukum perundang-undangan hendaknya menyadari dan
memahami secara sunguh-sungguh 2 (dua) hal pokok yaitu : “Konsep dan Bahasa” terutama mencari kata-kata dan konsep-konsep
yang cermat dan tepat. Kejelasaan konsep diperlukan dalam menuntun proses
perancangan peraturan perundang-undangan baik dalam “substantive policy” maupun dalam komunikasinya. [9]
hukum ditelaah dan dikaji dari setiap sudut pandang dapat mengakibatkan produk
hukum yang disusun akan menjadi usang maka diperlukan kejelasan pemikiran yang
bersifat mendasar dan konsepsional.
Instistusi
yang membentuk peraturan perundang-undangan dipahami sebagai suatu sistem maka
isi dari yang dihasilkan tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya dan
dalam pembentukannya harus membuka ruang masukan dari bidang-bidang yang
selanjutnya disalurkan kedalam masyarakat.
Dalam
cita-cita bangsa Indonesia baik gagasan, rasa, cipta dan pikiran menciptakan
kenyataan dalam kehidupan sebagai suatu konstruksi yang dibangun oleh
masyarakat itu sendiri, dengan demikian setiap proses pembentukan
didalamnya terjadi politik hukum yang
hendak dilakukan terhadap hukum tidak boleh bertentangan dengan cita hukum yang
telah disepakati bersama.
Cita hukum
haruslah dipahami sebagai dasar pengikat dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, aspek nilai semakin penting artinya dan secara instrumental
berfungsi pada saat peraturan itu hendak di implementasikan kedalam produk
kebijaksanaan yang lebih operasional dan bersifat tekhnis pelaksanaan.
Politik
hukum berkeinginan untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang demokratis
yang tidak hanya dari segi tekhnik akan tetapi juga ditopang dengan gabungan
antara politik hukum (rech politik)
dan sosiologi hukumnya (rech sosiolgie).
Hukum yang dibuat melalui tahapan yuridis dan politis yang membutuhkan waktu
yang cukup panjang sehingga output dari produk hukum perundang-undangan
mempunyai kualitas dan didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut dalam
masyarakat.
Tahapan
yuridis dan politis berusaha mengklasifikasi masalah dan kemudian dirumuskan
lebih lanjut oleh aparatur pembentuk peraturan perundang-undangan yakni
Eksekutif dan legislatif. Proses ini berinteraksi dalam suatu kegiatan yang
dinamis menelurkan output peraturan perundang-undangan yang responsif terhadap
masyarakat.
Dapat
diambil suatu contoh dalam Peraturan
Presiden nomor 61 Tahun 2005 tentang Tatacara penyusunan dan Pengelolaan
Program Legislasi Nasional membicarakan proses pembentukan
perundang-undangan baik ditingkat pusat maupun di daerah. Penyusunan
Prolegnas dilaksanakan oleh DPR/ DPRD dan Pemerintah baik pusat ataupun daerah
secara berencana, terpadu dan sistematis yang dikoordinasikan oleh DPR/ DPRD,
melalui alat kelengkapannya, yaitu Badan Legislasi Secara teknis, dalam
pelaksanaannya Prolegnas/ prolegda disusun melalui beberapa tahapan.
Secara
garis besar tahapan tersebut dapat diuraikan dalam Tahapan Penyusunan Rencana Legislasi
dan Tahapan Penyusunan Program Legislasi di Lingkungan Pemerintah maupun di
DPR/ DPRD, Tahapan Koordinasi Penyusunan Program Legislasi Nasional/ Daerah dan
Tahapan Penetapan. Penyusunan Prolegnas/ Prolegda diawali dengan inventarisasi ‘rencana legislasi’, baik di lingkungan
Pemerintah maupun DPR/ DPRD. Di lingkungan pemerintah, daftar “rencana legislasi” mencakup seluruh
rencana pembentukan peraturan perundang-undangan, baik yang sifatnya masih akan
disusun, yakni masih berupa “keinginan-keinginan”
untuk membuat peraturan perundang-undangan maupun yang bentuknya sudah lebih
konkret, misaInya peraturan perundang-undangan yang sedang dalam proses
penyusunan, atau yang sudah selesai disusun dan sudah siap diajukan ke DPR/
DPRD. Dengan demikian, rencana legislasi tersebut mencakup:
1. Rencana
legislasi yang belum konkret , dalam bentuk judul-judul
peraturan perundang-undangan yang sifatnya masih tentative;
2.
Rencana
legislasi yang sudah mendekati konkretisasi: rencana pembentukan undang-undang
yang masih dalam proses persiapan, seperti dalam bentuk kegiatan pengkajian dan
penelitian;
3. Rencana
legislasi yang masih dalam taraf penyusunan naskah akademik : hasil-hasil
pengkajian dan/atau penelitian sudah mulai disusun dalam bentuk naskah
akademik;
4. Rencana
legislasi yang sudah dalam taraf penyusunan RUU/ RAPERDA di lingkungan internal;
5. Rencana legislasi
yang sudah dalam bentuk RUU/ RAPERDA: Naskah RUU/ RAPERDA-nya sudah disusun
secara lengkap dan sudah disempurnakan melalui proses harmonisasi (pembahasan
antardepartemen).
Ukuran
untuk memprioritaskan RUU dan RAPERDA tersebut didasarkan atas 10 kriteria
substansi yakni:
1.
Rancangan
yang merupakan perintah dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
2.
Rancangan
yang merupakan perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia;
3.
Rancangan
yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang lain;
4.
Rancangan
yang mendorong percepatan reformasi;
5. Rancangan yang merupakan warisan Program
legislasi terdahulu disesuaikan dengan kondisi saat ini;
6. Rancangan yang menyangkut revisi atau
amandemen terhadap undang-undang yang bertentangan dengan undang undang
lainnya;
lainnya;
7. Rancangan yang merupakan ratifikasi terhadap
perjanjian internasional;
8. Rancangan yang berorientasi pada pengaturan
perlindungan HAM dengan memperhatikan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan
jender;
jender;
9. Rancangan yang mendukung pemulihan dan
pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkeadilan;
10. Rancangan yang secara langsung menyentuh
kepentingan rakyat untuk memulihkan dan meningkatkan kondisi kesejahteraan
sosial masyarakat.
sosial masyarakat.
Dalam
prolegnas/ prolegda inilah seharusnya poltik hukum sangat berperan, hal inipun
didukung diantara 10 (sepuluh) kriteria diatas dan didukung pula dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Bab XI Partisipasi Masyarakat. Peran
masyarakat diperlukan dalam upaya pencintraan aspirasi masyrakat yang dapat
diserap langsung oleh aparatur pembentuk peraturan perundang-undangan.
Pada
kenyataannya pun partisipasi masyarakat ini sedikit diabaikan sehingga
masyarakat tidak dapat memberikan input secara langsung terhadap peraturan
perundang-undangan yang akan dibuat. Seperti pada pembicaraan diatas menunjukan
bahwa dalam penyusunan dan pembentukan peraturan perundang-undangan tentang
kesejahteraan masyarakat pesisir tidak adanya peran Politik hukum yang
dijadikan tonggak untuk mewujudkan tujuan negara.
Dalam
politik hukum ada 3 (tiga) hal yang menyebabkan Undang-Undang di Indonesia
buruk, salah satunya adalah karena sering terjadi tukar menukar isu dan jual
beli dalam penentuan isi pasal-pasal Undang-Undang. Pengujian Undang-Undang ke
Mahkamah Konstitusi sejak Tahun 2003 – 09 November 2011 diantara 406 kali
persidangan dimana 97 (sembilan puluh tujuh) diantaranya dikabulkan oleh
Mahkamah Konstitusi karena Inskonstitusional. Hal dilihat karena buruknya
legislasi dikarenakan jual beli kepentingan dalam pembuatan Undang-Undang.[10]
Sudut
pandang contoh lain yakni dalam Poin 2 Penjelasan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau - Pulau Kecil menyebutkan bahwa Tujuan
penyusunan Undang-Undang ini adalah:
1.
Menyiapkan
peraturan setingkat undang-undang mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil khususnya yang menyangkut perencanaan, pemanfaatan, hak dan
akses masyarakat, penanganan konflik, konservasi, mitigasi bencana, reklamasi
pantai, rehabilitasi kerusakan pesisir, dan penjabaran konvensi-konvensi
internasional terkait;
2.
Membangun
sinergi dan saling memperkuat antarlembaga Pemerintah baik di pusat maupun di
daerah yang terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir sehingga tercipta kerja
sama antarlembaga yang harmonis dan mencegah serta memperkecil konflik
pemanfaatan dan konflik kewenangan antarkegiatan di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil; serta
3. Memberikan
kepastian dan perlindungan hukum serta memperbaiki tingkat kemakmuran
masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil melalui pembentukan peraturan yang
dapat menjamin akses dan hak-hak masyarakat pesisir serta masyarakat yang
berkepentingan lain, termasuk pihak pengusaha.
Terlihat
jelas tujuan dari Undang-Undang tersebut diatas mengatasnamakan tujuan
kesejahteraan masyarakat akan tetapi pada tataran pelaksanaannya dilapangan ini
tidak sepenuhnya terjadi, dikarenakan Ruh unsur dari Politik Hukum pada point
ke 4 (empat) yaitu: adanya tujuan yang
akan dicapai tidak dapat mengikuti
alur keinginan masyarakat.
Pada posisi
ini letak politik hukum dalam system tata hukum menurut Roscoe Pound adalah Skin
In System yakni hukum sangat dominan dalam memberi corak atau warna pada
fenomena lain, dalam hal ini adalah tujuan negara. Hukum direkayasa sedemikian
rupa sehingga dapat menjadi aturan main (rule of play) dalam
penyelenggaraan negara yang kemudian pada akhirnya tidak hanya masalah-masalah
saja yang timbul akibat diterbitkannya produk hukum, akan tetapi diharapkan akan
terciptanya produk hukum yang membuat segala masalah dapat teratasi.
K
E S I M P U L A N
Uraian yang telah dipaparkan secara singkat diatas, kiranya
penulis menyimpulkan sebagai jawaban dari rumusan masalah yang termaktub diatas
adalah :
1. Secara konseptual sistem pemerintahan
dapat dibedakan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu : sistem pemerintahan parlementer
(the parlementiary cabinet goverment),
sistem pemerintahan presidensial (the
presidential goverment) dan sistem pemerintahan yang mengandung sistem
parlemen dan sistem Presidensial (semi
presidential goverment).
2. Politik hukum merupakan pilihan-pilihan tentang hukum
sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi yang akan dibentuk, hukum itu akan dicabut atau tidak
diberlakukan lagi;
3. Politik Hukum merupakan disiplin ilmu yang membahas
perbuatan aparat yang berwenang dalam memilih alternatif yang sudah tersedia untuk memproduksi produk
hukum (karya hukum) guna mewujudkan tujuan negara dan mempunyai beberapa
unsur-unsur diantaranya :
a.
Dibuat oleh aparat yang berwenang;
b.
Adanya alternatife yang dapat dipilih;
c.
Adanya produk yang dihasilkan;
d.
Adanya tujuan negara yang akan diwujudkan.
4. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang
telah dihasilkan melalui proses diantaranya peranan politik hukum yang
diimplementasikan dan dijabarkan kedalam peraturan-peraturan yang dapat serap
dan dinikmati oleh lapisan masyarakat.
5. eraturan perundang-undangan yang telah dibuat tidak
diiringi dengan perkembangan masyarakat akibatnya nilai-nilai yang merupakan
tujuan yang akan dicapai dari masyarakat tidak terpenuhi dan berpangaruh pada
penegakan hukum itu sendiri.
S A R A N
Politik
hukum didaulat dapat menjalankan perannya dalam mewujudkan tujuan negara ternyata
harus diimbangi dengan konsepsi dan isi yang menciptakan kesejahteraan didalam masyarakat
yang konsisten yang dimaksud adalah bagaimana politik hukum yang telah
diterapkan terjaga dan tetap menjadi rel yang kuat sehingga tujuan poitik hukum
atau produk hukum yang dihasilkan dapat dijalankan dengan baik guna mewujudkan tujuan
negara.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
2.
A.S.S. Tambunan, Politik
Hukum Berdasarkan UUD 1945, (Jakarta: Puporis Publishers, 2002),
3.
Hardjon, Philipus M, Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.
4.
Humah, Darsis, Cita-cita
Negara Hukum di Indonesia, Elkaf 2007;
5.
Hikmahanto Juwono, “Politik
Hukum Undang-undang Bidang ekonomi di Indonesia”.
6.
Muchsan, SH, Pengantar
Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta 1982.
7.
Muchsan, SH “Politik
Hukum” Materi Perkuliahan pada Magister Hukum UGM, (Yogyakarta. 2011)
8.
Mahfud MD, Moh, Politik
Hukum di Indonesia, Rajawali Press 2009;
9.
Warassih, Esmi, Pranata
Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang 2011;
10.
-----, Bunga
Rampai Pemikiran Hukum di Indonesia, FH UII Press 2009;
11.
-----, Surat
Kabar Tribun Yogya, tanggal 17 November 2011
[1] Pemikiran Hukum di
Indonesia, Bunga Rampai, FH UII Press, 2009 hlm 314-315
[2] Undang-Undang Dasar 1945,
Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan, Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1998.
[3]
Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
[4]
Padmo Wahjono, Indonesia Negara
Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia 1986
[5]
Satjipto rahardjo, Ilmu Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991
[6] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,
Rajawali Pers, 2009
[7] Prof. Muchsan, disampaikan
pada mata Kuliah Politik Hukum, Magister Hukum angkatan 27 Universitas Gajah
Mada Yogyakarta, tanggal 23 september 2011.
[8] Prof. DR. Esmi Warasih,
SH, MS, Pranata Hukum, sebuah telaah sosiologis, Badan Penerbit UNDIP Semarang
2011.
[9]
Ibid. Hal 28-39.
[10]
Moh. Mahfud, MD, Tribun Jogja, Kamis Wage tanggal 17 November 2011 hal 2
0 komentar:
Posting Komentar